Bahaya Membawa Bahagia

Posted in By vika valianty 0 comments

“Apa kamu,,! Anak kecil, anak ingusan, masih bau kencur aja sudah bawel!!” makian kakakku selalu menyambutku.
Sejak kecil aku tidak pernah mengenal kedamaian dengan kakakku. Aku tidak pernah merasakan yang disebut dengan kasih sayang seorang kakak. Tidak pernah merasakan rangkulan, pangkuan, dan belaian dari kakakku. Sesungguhnya aku menyayangi kakakku, namun perlakuannya yang demikian menyakitkan membuatku merasa bahwa rasa sayang itu pudar entah kemana. Hubungan kami semakin hari semakin memburuk. Sangat berbeda dengan kisah-kisah kami di masa-masa kecil kami.
“Koko jahat!! Aku nggak mau ngomong sama koko lagi! Koko nggak pernah sayang sama aku!” demikian aku berteriak kian keras hingga orang tuaku terbangun.
“Ada apa sih, Vita..?? Kamu teriak-teriak bikin orang kaget aja.. Kenapa koko kamu..?” teriakan mami berasal dari dalam kamar terdengar begitu dahsyat. Aku menjawab teriakan itu dengan tangisan. Sedangkan kakakku langsung pergi meninggalkan aku dengan kesal dan mesuk ke kamarnya.
“Dasar anak kecil..! Bikin ribut aja kerjanya..,” gerutunya ketika berjalan meninggalkanku. Tangisanku semakin meraung-raung. Akhirnya papi keluar kamar dengan penampilan yang cukup kurang enak dipandang karena sangat berantakan. Maklum, dia sedang tidur dan dikejutkan dengan raunganku.
“Kamu kenapa Vita? Kenapa teriak-teriak begitu?” suara lembut papi membuat aku luluh dan tangisanku melembut. Tapi aku tidak bisa menghentikan keinginan untuk menangis, sehingga aku tidak bisa menjawab pertanyaan papi. Kemudian papi menarik tubuhku ke dalam rangkulannya. Itu tidak membuatku tenang dan berhenti menangis, tapi sebaliknya, tangisanku semakin pecah, namun tidak meraung-raung seperti sebelumnya. Karena tidak mengerti apa yang terjadi, akhirnya papi memanggil kakakku yang masih merasa dongkol kepadaku.
“Alfonn.. Ke sini sebentar..,” papi memanggil kakakku, namun dia tak kunjung datang. Ada dua kemungkinan. Pertama, dia tertidur karena terlalu kesal. Kedua, dia pura-pura tidak mendengar. Entahlah apakah dugaanku benar atau salah, aku tidak mengerti.

***

kini kau berubah
tidak seperti dulu lagi
dahulu kau ceria
sekarang penuh benci

entahlah semua ini terjadi
putaran waktu yang kian cepat
menyambar dirimu pergi
meninggalkan aku tanpa hangat
ingin kumaki dunia
ingin kumaki alam
ingin kumaki waktu
ingin kumaki diriku sendiri

mengapa harus aku
mengapa bukan dia
mengapa bukan mereka
karena aku sungguh menyayangimu

apa yang terjadi
entah aku tak tahu
apa yang terpungkiri
entah tak kusadari semua itu

aku tak peduli
apa yang kau lakukan padaku
tapi aku tetap berpegang pada hati
bahwa aku menyayangimu
03.10.08


Kakakku yang kini berubah, membuat aku begitu tersayat. Kukenang kisah-kisah di masa kecil kami yang penuh dengan tawa dan canda. Masih melekat dibenakku bagaimana dia erat merangkul aku dan membelaiku dengan segala kehangatannya. Namun kini harapan untuk mendapatkan semua itu telah pupus. Di dalam rangkulan papi aku menangis hingga aku lelah dan akhirnya aku tertidur. Hingga saat itu juga panggilan papi diabaikan oleh Alfon, kakakku.
Sebangunnya dari tidurku yang cukup melelapkan, aku mendapati diriku seorang diri di rumah.
“Mamii.. Papii.. Koko..” Suasana begitu hening. Tak kudengar satu patah katapun dari seluruh penjuru rumah. Aku memanggil dan terus memanggil.. Namun tak membuahkan hasil apapun. Aku mulai putus asa dan air mata menetes begitu saja tanpa kusadari. Kemanakah mereka semua pergi? Mengapa mereka meninggalkan aku sendiri? Apakah mereka semua telah membenciku? Kian berjuta pertanyaan berkecamuk dalam benak dan aku tak saunggup untuk menjawabnya satu per satu, Aku hanya bisa menangis karena kesendirianku.
“Kamu kenapa nangis lagi?” suara mami begitu mengejutkan aku dan menyadarkan aku dari tangisku.
“Mami? Kok tiba-tiba mami ada di sini?”
“Lho.. Emang daritadi mami kemana? Mami nggak kemana-mana kok..”
“Oohh..” Perasaanku cukup lega, namun ada satu hal yang masih mengganjal di hati. Suatu perasaan sedih dan takut. Kakakku, Alfon.. Masihkah ada harapan untukku dapatkan kasih sayang dari seorang kakak? Akankah dia membenciku selamanya? Tak ada yang mengerti, haluan nafasku pun tidak. Kian semuanya itu menjadi tanda tanya besar di benakku dan menjadi dilema dalam hati. Entahlah, aku lelah memikirkannya.
Hari-hari kujalani seperti sepatutnya. Jika tidak ada kepentingan yang mendesak, aku tidak berbicara kepada Ko Alfon. Kalaupun berbicara, hanya sekedarnya dan dia pun menanggapinya dengan acuh tak acuh. Setelah pembicaraan seperlunya itu selesai, kami diam, tidak mengeluarkan satu patah katapun. Terkadang, kami saling meninggalkan satu sama lain.

***

Suatu ketika di musim panas, kami sekeluarga berlibur ke gunung. Kami mendaki gunung hingga sampai ke puncaknya, karena di atas sana terdapat air terjun yang begitu indah. Karena aku anak paling kecil, maka aku berjalan paling belakang, aku tertinggal oleh mereka karena langkah kaki papi, mami, dan Ko Alfon jauh lebih besar dariku. Dengan susah payah aku berusaha menyamai langkah mereka, namun aku tak sanggup. Kelelahan membuat aku semakin tertinggal jauh dan akhirnya aku kehilangan jejak mereka. Aku sendiri di sini. Tidakkah seorang pun menyadari ketidakberadaanku di antara mereka? Masakan aku tertinggal dan tidak ada yang tahu? Aku tidak membawa apa-apa, kecuali sebuah tas ransel kecil yang berisi bantal kesayanganku dan sehelai selimut, sebotol air juga tentunya. Tidak ada makanan.. Bagaimana kalau mereka terserang amnesia sementara sehingga mereka melupakan aku sampai mereka tiba kembali di rumah? Haruskah aku hidup sendiri di tubuh gunung yang gelap dan luas ini? Oohh.. Aku tidak bisa membayangkannya.
Duduk termenung. Hanya itu yang bisa kulakukan. Mengapa? Karena aku telah kehilangan jejak dan tidak tahu kemana arah mereka pergi. Hari semakin gelap dan aku mulai cemas. Udara mulai terasa dingin dengan kabut mulai keluar dari sarangnya menyeimuti pandanganku. Tak ada satupun dapat kulihat kecuali tanganku sendiri. Kemana mereka semua pergi? Ke puncak gunung tentunya..
Aku ingin sekali ke atas sana, namun tak cukup kekuatanku tuk melakukannya. Akhirnya aku tertidur. Lelap sekali..

***

“Raaaarrwwrrrr..” Auman harimau begitu besar dan tiada hentinya.
“Aauuuuu..” Disambung dengan lolongan serigala yang tidak kalah kerasnya. Guntur menggelegar dan suasana di badan gunung semakin menegangkan. Sampai saat ini aku masih sendirian, dan kini dalam keadaan tidak berkutik di tengah keadaan dimana datang segala jenis hewan buas menghampiriku, mengepungku, dari segala arah.. Apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa memasrahkan diri.
“Aku mati sia-sia hanya karena terkepung hewan buas?? Lucu sekali..” Aku bergumam sendiri. Kucari seribu satu cara untuk menghindari semua yang menyerangku. Kupanjat pohon yang ada di belakangku. Ini adalah pertama kali dalam hidup aku memanjat pohon dan aku berhasil. Ketika akan sampai pada cabang pohon kedua dari bawah, seketika muncul seekor ular yang akan melilit tangan kiriku. Spontan kulepaskan genggaman tanga kiriku untuk menghindari ular tersebut. Kini tinggal satu tangan kanan yang menjadi harapanku untuk bergantungan di pohon. Kutengok ke bawah dan begitu banyak mulut-mulut lapar menganga. Apa yang harus kulakukan sekarang? Di ujung pohon sana terdapat rumah pohon yang cukup besar. Entahlah ada yang menempatinya atau tidak, namun yang sekarang muncul di benakku adalah aku harus mencapainya.
Sejujurnya aku takut.. Aku takut dengan keadaan ini. Keadaan yang cukup membahayakan dan harus kuhadapi seorang diri. Dengan segala susah payah dan peluhku, aku dapat mencapai rumah pohon itu. Kubuka pintu rumah itu, tanpa seijin siapapun tentunya, dan satu kata untuk mendeskripsikan apa yang kulihat. GELAP.. Aku tidak dapat melihat apapun. Kucoba untuk memasukinya dan kuraba apa yang bisa kupegang dan kutemukan lentera berisi minyak. Setelah lentera itu menyala, aku dapat melihat apa yang ada di dalamnya. NIHIL.. Tidak ada apa-apa..
Duduk termenung dan teringat akan keluargaku yang entah kemana.. Entah dimana.. Sungguh menyedihkan. Mami, Papi, Ko Alfon. Tidakkah kalian mencariku? Mengingat aku? Di tengah lamunanku tiba-tiba.. WUUUUUSHHH... Angin bertiup sangat kencang hingga mengguncangkan rumah pohon tempat aku berteduh. Akankah ada badai di sini? Berbagai ketakutan menyelimutiku. Aku sendiri dan aku tidak berdaya, tidak mempunyai apapun. Hanya sebuah tas berisi bantal, selimut, dan botol minumku. Akhirnya kuputuskan untuk tidur saja.
“Vita.. Vita..” sebuah suara memanggilku dan aku mengenal suara itu.
“Vita.. Kamu nggak apa-apa?” suara lain yang sama familiarnya dengan suara pertama.
“Vitaa.. Ya ampunn.. Ternyata kamu ada di sini. Kita cemas mencarimu..” Aku juga mengenal suara ketiga yang berbeda dengan suara pertama dan kedua. Perlahan kubuka mataku dan mendapati tiga sosok yang amat kurindukan.
“Mami.. Papi.. Ko Alfon.. Mana serigalanya? Mana harimaunya? Aku takut.. Mereka udah nggak ada kan?”
“Vita.. Kamu mimpi apa? Nggak ada serigala, harimau, dan hewan-hewan lain di sini.. Ini gunung, sayang.. Bukan hutan..” Kata mami lembut sambil merangkulku.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Ko Alfon penasaran.
“Aku juga nggak tahu.. Tadi aku ketinggalan, tiba-tiba kalian menghilang dan aku nggak tahu harus jalan kemana.. Jadi aku diam aja di sini dan akhirnya aku ketiduran,” jawabku yang masih ketakutan. Wajahku pucat, peluh bercucuran, dan aku sangat lelah.
“Kalian abis darimana?” tanyaku setengah lemah.
“Kita cari kamu daritadi, kita udah keliling gunung dan ternyata kamu ada di sini..” jawab Ko Alfon.
“Ternyata Ko Alfon mau mencariku,” batinku.. terselip rasa senang dan terharu, karena keluargaku mau mencariku. Tentu saja. Mana mungkin ada orang tua yang bersenang-senang, sedangkan anak perempuannya yang masih berumur 5 tahun hilang entah kemana.
Kemudian papi menggendongku dan membawaku turun gunung. Aku merasa nyaman sekali berada di gendongan papi. Aku merasa lapar, kedinginan, lelah, lemas, dan masih banyak lagi perasaan-perasaan yang berkecamuk dalam diriku.
Sepulangnya di rumah, aku tidak berbuat apa-apa lagi dan langsung beranjak ke tempat tidur.

***

“Nih makan..” Dengan lemah aku mulai duduk dan Ko Alfon menyuapi bubur ayam buatan mami. Sikapnya agak berbeda. Sedikit lebih baik, namun masih dingin. Aku tidak peduli, yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana aku bisa sembuh.
Demamku lumayan tinggi dan kepalaku sakit sekali. Badanku lemas, aku tidak berdaya. Aku tidak seperkasa diriku dalam mimpi kemarin. Bisa menghindari harimau dan serigala, melawan ular, memanjat pohon hingga sampai ke rmah pohon di puncaknya. Namun sekarang, duduk saja mungkin tidak sanggup.
“Mandi dulu sana..”
“Tapi aku lemes..” Ko Alfon menjadi sedikit perhatian kepadaku, meskipun nadanya masih dingin. Dia menggendongku ke kamar mandi dan membantuku mandi.
“Ko.. Dingin..”
“Nih handuk..” Setelah memakai handuk, dia menggendongku kembali ke kamar.
Seminggu setelah sakit yang cukup parah, keadaanku jauh lebih baik. Aku mulai mendapatkan kekuatanku kembali. Aku pikir, setelah sembuh, Ko Alfon akan kembali seperti dulu. Cuek, dingin, tidak peduli terhadapku. Namun kenyataannya tidak. Dia memang tidak begitu hangat kepadaku, namun tatapan mata dinginnya sudah musnah, menjadi lebih perhatian kepadaku, meski hanya sedikit. Tanpa kusadari tersisip rasa haru dan bahagia dalam hatiku. Inikah yang disebut sebagai kasih sayang seorang kakak? Aku telah merasakannya.
“Fonn, kamu bliin mami gula dong di warung,” teriakan mami memecah lamunanku. “Sekalian ajak Vita aja, biar dia ngga bosan di rumah, ajak dia jalan-jalan,” sambung mami.
“Iya ma..” Jawaban Ko Alfon cukup mencengangkan aku.
“Waaa.. Asyiikk.. Jalan-jalan..” Spontan aku berteriak dan mengejutkan orang-orang di sekitarku.
“Ayo..” ajak Ko Alfon sambil menarik tanganku. Aku segera bergegas keluar rumah dan naik ke sepeda Ko Alfon. Ko Alfon mengendarai sepeda dengan kecepatan cukup tinggi dan aku menikmati terpaan angin di wajahku yang mengibarkan helaian rambutku yang panjang. Tiba-tiba.. DUAAKK.. Aku tak sadarkan diri selama beberapa menit. Ketika aku membuka mata, yang dapat kulihat hanyalah hamparan biru yang sangat luas, langit.. Aku berusaha untuk berdiri dan perlahan berjalan ke tepi jalan. Seketika mobil Panther merah dari arah depan melaju dengan kecepatan tinggi melewati jalan tempat aku tak sadarkan diri. Beruntung aku sudah berhasil berdiri dan aku telah berada di tepi jalan. Kalau tidak, mungkin sekarang aku pulang tanpa nyawa dan hanya menyisakan nama. Panther itu berlalu begitu cepat diiringi perasaan kagetku.
Kupandang wajah Ko Alfon di depanku. Dia hanya diam, tapi di matanya terpancar rasa bersalah yang begitu mendalam. Sandal yang kupakai rusak, kepalaku benjol cukup parah, siku lengan kiriku berdarah, sakit sekali. Ko Alfon menuntunku ke sepeda dan membantuku naik ke atas sepeda. Kemudian dia membeli gula pesanan mami dan membawaku pulang.
“Ya ampuunn.. Vita.. Kamu kenapa lagi?” mami terlihat begitu histeris.
“Vita jatuh ma, aku nggak hati-hati.”
“Kamu gimana sih, bawa sepeda hati-hati dong, apalagi kalau bawa adik kamu.”
“Maaf ma..”
“Ya sudah sekarang kamu urusin itu lukanya Vita..”
“Iya ma..”
Kemudian Ko Alfon mengambil alkohol, kapas, dan betadine. Dia membersihkan lukaku yang cukup kotor itu dengan alkohol. Karena cukup banyak kotoran yang ada di lukaku, dia menyiramkan alkohol dan membuatku menjerit-jerit kesakitan. Tapi Ko Alfon diam saja. Biasanya dia akan menyuruhku diam jika aku menjerit-jerit, tidak peduli dalam keadaan apapun. Kali ini dia diam tanpa kata. Setelah itu dia meneteskan betadine ke atas lukaku dan menutupnya dengan kassa. Ko Alfon melakukan ini setiap hari. Setelah mandi lukaku dibersihkan, diberi obat, dan menutupnya dengan kassa.
Sejak saat itu, sikap Ko Alfon kepadaku berubah. Ia tidak dingin, ia tidak cuek, ia tidak kasar kepadaku. Ia menjadi hangat, ia mejadi perhatian, dan bersikap lembut kepadaku. Tentu saja aku merasa senang, namun aku tidak menunjukkan apa yang kurasakan. Kupendam semua itu dalam hati. Kudapati secarik kertas di atas tempat tidurku, bertuliskan.. “Ko Alfon sayang Vita..” Tanpa kusadari aku meneteskan air mata. Ternyata harapan untuk mendapatkan kembali kasih sayang seorang kakak masih ada. Harapan itu terkubur dalam.. Sangat dalam dan kini tergali kembali. Harapan itu terbit kembali, bagai mentari yang terbit di ufuk timur, menyinari sang fajar.
Tiba-tiba Ko Alfon masuk ke kamarku. Dia merangkulku dan berkata, “Ko Alfon sayang kamu, Vita..” Aku menangis dan berbalik memeluknya.


.vika.